Sejarah
Shinto berasal dari kata Shin dan To, yaitu kombinasi dua huruf
kanji yang berarti Jalan Kami (Tuhan atau Dewa). Nama ini mulai dipakai pada
abad ke 6, bersamaan dengan kedatangan agama Buddha, untuk membedakan dengan
jelas agama lama dengan agama baru. Jadi jelas sekali, kalau masyarakat Jepang
dulu menjalankan kepercayaannya apa adanya dan tanpa nama atau istilah apapun.
Shinto mempunya sejarah yang cukup panjang dan tua yaitu dimulai
dari masa Jomon Period (11.500-300 BC) ada indikasi masyarakat jaman itu sudah
menjalankan ritual Samanisme yang mirip dengan ritual Shinto sekarang.Kemudian
pada masa Kofun Period (250-552 CE) mulai ditemukan catatan yang lebih lengkap
tentang kepercayaan ini.Kuil kuno Ise dan kuil Izumo Taisha yang terletak di
barat daya dan di timur laut kepulauan Jepang adalah beberapa di antara kuil
yang dibangun pada masa ini dan masih berdiri hingga kini.
Bahkan yang mungkin paling unik adalah tempat suci agama Shinto pada
awalnya kebanyakan tidak memiliki bangunan apapun jadi hanya berupa tanah
kosong, hutan, sungai ataupun gunung dan pendirian bangunan ini dimulai karena
pengaruh dari agama Buddha yang mulai masuk pada masa itu.
Kemudian pada masa Restorasi Meiji, Shinto ditetapkan menjadi agama
resmi negara namun setelah perang dunia kedua Jepang, status Shinto sebagai
agama negara berakhir karena Jepang beralih menjadi negara sekular dan agama
dianggap tidak lebih sebagai kegiatan budaya.[1]
Shinto dan Ajarannya
K a m i
Istilah “Kami” dalam agama Shinto dapat diartikan dengan “di atas”
atau “unggul”, sehingga apabila dimaksudkan untuk menunjukkan suatu kekuatan
spiritual, maka kata “Kami” dapat dialih bahasakan (diartikan) dengan “Dewa”
(Tuhan, God dan sebagainya). Jadi bagi bangsa Jepang kata “Kami” tersebut
berarti suatu objek pemujaan yang berbeda pengertiannya dengan pengertian
objek-objek pemujaan yang ada dalam agama lain.[2]
Istilah Kami diterapkan terhadap kekuatan dan objek-objek tertentu,
tanpa membedakan apakah objek tersebut adalah benda hidup atau mati, bersifat
baik atau buruk.Semua yang memiliki sifat-sifat misteriusdan menimbulkan rasa
segan dan takut dapat dianggap sebagai Kami.
Ada 4 hal yang
mendasari konsepsi kedewaan dalam agama Shinto, yaitu :
1.
Dewa-dewa tersebut pada umumnya
merupakan personifikasi gejala-gejala alam.
2.
Dewa-dewa tersebut dapat pula
berarti manusia
3.
Dewa-dewa tersebut dianggap
mempunyai spirit yang mendiami tempat-tempat di bumi dan mempengaruhi kehidupan
manusia.
4.
Pendekatan manusia terhadap
dewa-dewa tersebut bertitik-tolak dari perasaan segan dan takut.[3]
Adapun beberapa dewa-dewi, mahkluk
gaib, roh-roh, yang dipuja dalam Shinto antara lain:
1.
Naga (mahkluk berupa ular)
2.
Dosojin, Ebisu (salah satu dewa
keberuntungan Jepang)
3.
Dewa Hachiman, Henge, Kappa, Kitsune (Roh
Srigala)
4.
Oinari (Roh Srigala)
5.
Shishi (Singa)
6.
Su-ling (Empat Binatang Pelindung)
7.
Tanuki (Sejenis Dewa
8.
Inari (dewa makanan)
9.
Aragami (Roh ganas dan jahat)
10.
Dewa-dewa Tanah dan Dewa-dewa Gunung dan
Dewa-dewa Pohon
11.
Dewa-dewa Air dan Dewa-dewa Laut
12.
Dewa-dewa Api
13.
Dewa-dewa manusia
Konsep tentang manusia
Hubungan kami dengan manusia terjalin suatu hubungan antara orangtua
dan anak, atau antara nenek moyang dengan keturunannya.Dengan demikian “manusia
adalah putra kami”. Ungkapan ini memiliki 2 macam arti :
1) Kehidupan
manusia berasal dari kami, sehingga dianggap suci.
2) Kehidupan
sehari-hari adalah pemberian dari kami.
Dalam agama
Shinto, manusia memiliki banyak arti, diantaranya :
* Hito (tempat
tinggal spirit)
* aohito-gusa
(manusia-rumput hijau) Dalam bahasa Jepang kuno
* ame no
masu-jito (manusia- langit-yang berkembang)
konsep dosa tidak dikenal dalam agama Shinto. Segala bentuk upacara
keagamaan yang dikerjakan pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan kondisi
“suci” yang sangat diperlukan dalam mendekati kami.Penyakit, luka, menstruasi,
dan kotoran-kotoran lainnya dianggap sebagai hal-hal yang dapat merusak
hubungan manusia dengan kami.
* Ajaran Tentang Dunia
Agama Shinto adalah termasuk tipe agama “lahir satu kali”.Dalam
arti, memandang dunia ini sebagai satu-satunya tempat kehidupan bagi manusia.
Meskipun demikian, dalam pemikiran Shinto ada 3 macam dunia, yaitu :
1.
Tamano-hara, yang berarti “tanah
langit yang tinggi”, yaitu dunia menjadi tempat tinggal para dewa langit.
2.
Yomino-kuni, yakni tempat
orang-orang yang sudah meningal dunia, yang dibayangkan sebagai dunia yang
gelap, kotor, jelek, dan menyengsarakan.
3.
Tokoyono-kuni, yang berarti
“kehidupan yang abadi”, ”negeri yang jauh diseberang lautan”, atau “kegelapan
yang abadi”, yaitu sebuah dunia yang dianggap penuh kenikmatan dan kedamaian,
tempat tinggal arwah orang-orang yang meninggal dunia dalam keadaan suci.
Ketiga dunia tersebut sering pula disebut dengan kakuriyo (dunia
yang tersembunyi), sementara dunia tempat tinggal manusia hidup disebut
ut-sushiyo (dunia yang terlihat atau dunia yang terbuka).
Menurut Motoori Morinaga dalam mite terdapat ketentuan dari dewi
matahari mengenai suatu keabadian sejarah. Morinaga juga menyatakan bahwa dunia
manusia ini akan senantiasa tumbuh dan berkembang serta berubah terus menerus.
Makanya oleh sebab itu agama Shinto tidak memiliki ajaran tentang hidup dihari
kemudian atau hidup setelah mati, meskipun percaya akan adanya suatu dunia yang
penuh kenikmatan dan kedamaian tempat tinggal arwah orang-orang yang hidupnya
suci. Agam tersebut agaknya lebih menekankan pada pandangan yang lebih
berorientasi kekinian dan keduniaan, apalagi dunia dianggap sebagai tempat
tinggal manusia yang tidak akan pernah musnah. Berdsarkan pandangan semacam ini
maka saat-saat kehidupan manusia saat ini merupakan saat-saat yang penuh dengan
nilai.Setiap pemeluk Shinto diharuskan untuk berperan aktif secara langsung
dalam perkembangan dunia yang abadi, yang harus memanfaatkan setiap saat dalam
kehidupan semaksimal mungkin.Mentalitas seperti ini, mungkin merupakan diantara
lain-lain faktir yang telah membawa bangsa jepang menuju tingkat kesejahteraan
dan kemakmuran hidup duniawi yang cukup tinggi seperti yang dapat dilihat
sekarang.[4]
Ritual keagamaan
Matsuri adalah kata dalam bahasa Jepang yang menurut pengertian
agama Shinto berarti ritual yang dipersembahkan untuk Kami, sedangkan menurut
pengertian sekularisme berarti festival, perayaan atau hari libur
perayaan.Matsuri diadakan di banyak tempat di Jepang dan pada umumnya
diselenggarakan jinja atau kuil, walaupun ada juga matsuri yang diselenggarakan
gereja dan matsuri yang tidak berkaitan dengan institusi keagamaan.Di daerah
Kyushu, matsuri yang dilangsungkan pada musim gugur disebut Kunchi.Sebagian
besar matsuri diselenggarakan dengan maksud untuk mendoakan keberhasilan
tangkapan ikan dan keberhasilan panen (beras, gandum, kacang, jawawut, jagung),
kesuksesan dalam bisnis, kesembuhan dan kekebalan terhadap penyakit,
keselamatan dari bencana, dan sebagai ucapan terima kasih setelah berhasil
dalam menyelesaikan suatu tugas berat.Matsuri juga diadakan untuk merayakan
tradisi yang berkaitan dengan pergantian musim atau mendoakan arwah tokoh
terkenal.Makna upacara yang dilakukan dan waktu pelaksanaan matsuri beraneka
ragam seusai dengan tujuan penyelenggaraan matsuri. Matsuri yang mempunyai
tujuan dan maksud yang sama dapat mempunyai makna ritual yang berbeda
tergantung pada daerahnya. Pada penyelenggaraan matsuri hampir selalu bisa
ditemui prosesi atau arak-arakan Mikoshi, Dashi (Danjiri) dan Yatai yang
semuanya merupakan nama-nama kendaraan berisi Kami atau objek pemujaan. Pada
matsuri juga bisa dijumpai Chigo (anak kecil dalam prosesi), Miko (anak gadis
pelaksana ritual), Tekomai (laki-laki berpakaian wanita), Hayashi (musik khas
matsuri), penari, peserta dan penonton yang berdandan dan berpakaian bagus, dan
pasar kaget beraneka macam makanan dan permainan
Dalam teologi agama Shinto dikenal empat unsur dalam matsuri:
penyucian (harai), persembahan, pembacaan doa (norito), dan pesta makan.
Matsuri yang paling tua yang dikenal dalam mitologi Jepang adalah ritual yang
dilakukan di depan Amano Iwato. Matsuri dalam bentuk pembacaan doa masih
tersisa seperti dalam bentuk Kigansai (permohonan secara individu kepada jinja
atau kuil untuk didoakan dan Jichinsai (upacara sebelum pendirian bangunan atau
konstruksi). Pembacaan doa yang dilakukan pendeta Shinto untuk individu atau
kelompok orang di tempat yang tidak terlihat orang lain merupakan bentuk awal
dari matsuri. Pada saat ini, Ise Jingū merupakan salah satu contoh kuil agama
Shinto yang masih menyelenggarakan matsuri dalam bentuk pembacaan doa yang
eksklusif bagi kalangan terbatas dan peserta umum tidak dibolehkan ikut serta.
Sesuai dengan perkembangan zaman, tujuan penyelenggaraan matsuri sering
melenceng jauh dari maksud matsuri yang sebenarnya. Penyelenggaraan matsuri
sering menjadi satu-satunya tujuan dilangsungkannya matsuri, sedangkan matsuri
hanya tinggal sebagai wacana dan tanpa makna religius[5]
Kitab suci agama Shinto yang paling tua ada dua buah, yang disusun
sepuluh abad sepeninggal Jimmu Tenno (660 SM) yang merupakan kaisar Jepang yang
pertama, yaitu; Kojiki (Catatan dari hal-hal Kuno) yang mencatat
peristiwa-peristiwa purbakala yang disusun pada 712 M, dan Nihongi (Sejarah
Jepang) yang ditulis pada 720 M oleh seorang pangeran Jepang . Kemudian
terdapat dua karya kemudian, yakni Yengishiki (Lembaga-lembaga pada masa
Yengi), dan Manyoshiu yaitu kumpulan dari 10.000 daun adalah karya utama, tapi
ini tidak dianggap sebagai kitab suci yang diwahyukan[6]
Tujuan Agama Shinto
Tujuan
utama dari Shinto adalah mencapai keabadian di antara mahluk-mahluk rohani,
Kami.Kami dipahami oleh penganut Shinto sebagai satu kekuasaan supernatural
yang suci hidup di atau terhubung dengan dunia roh.Agama Shinto sangat
animistik, sebagaimana kebanyakan keyakinan timur, percaya bahwa semua mahluk
hidup memiliki satu Kami dalam hakikatnya.Hakikat manusia adalah yang paling
tinggi, karena mereka memiliki Kami yang paling banyak.Keselamatan adalah hidup
dalam jiwa dunia dengan mahluk-mahluk suci ini, Kami.Jalan Untuk Mencapai
Tujuan Dalam Shinto keselamatan dicapai melalui pentaatan terhadap semua
larangan dan penghindaran terhadap orang atau obyek yang mungkin menyebabkan
ketidak sucian atau polusi.Persembahyangan dilakukan dan persembahan dibawa ke
kuil untuk para Dewa yang dikatakan ada sejumlah 800 miliar di alam
semesta.Manusia tidak mempunyai Tuhan tertinggi untuk ditaati, tapi hanya perlu
mengetahui bagaimana menyesuaikan diri dengan Kami dalam berbagai
manifestasinya.Kami seseorang tetap hidup setelah kematian, dan manusia
biasanya menginginkan untuk berharga dan dikenang dengan baik oleh
keturunannya.Oleh karena itu, pemenuhan kewajiban adalah unsur yang paling
penting dari Shinto.[7]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar